Tumbal
Leak
Tumbal
Leak
Penulis: Rochy Mario Djafis
ISBN : 978-623-95910-1-4
PART 1
Jeritan dan teriakan histeris itu kembali terdengar. Tak lama,
samar-samar terdengar suara orang bercakap di luar. Ternyata, sebagian warga
dusun terbangun karena suara pilu itu.
Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari.
"Ooo
Nenek Kaji ... malik kejadian." (Yaa Tuhan ... kejadian lagi) Suara Pak Umar
terdengar dari dalam rumahnya.
"Ada bayi mati lagi, Kak?" tanya Syahida pada Fajar
—suaminya—dengan raut wajah cemas. Syahida baru sebulan lalu melahirkan anak
pertamanya.
Sudah beberapa bulan ini, dusun sebelah digemparkan dengan
kematian bayi-bayi hingga orang dewasa dengan cara tak wajar dan belum diketahui
siapa pelakunya dan apa motifnya.
"Kamu tunggu di sini, kakak keluar bentar," ucap Fajar
sambil mengencangkan sarung di pinggang berniat keluar memastikan.
"Jangan, saya takut, Kak." Syahida begitu cemas dan
meremas lengan kiri suaminya.
"Gak apa-apa, sebentar kok, tunggu ya." Ciuman mendarat
di keningnya lalu Fajar melangkah keluar.
Ia tampak berat mengijinkan suaminya keluar walaupun hanya di
depan halaman. Mata indahnya menghiba tapi Fajar tetap keluar memastikan karena
sangat penasaran. Tak lama, teriakan minta tolong pun terdengar, bersamaan
dengan itu, suara kentongan bambu yang dipukul oleh warga memenuhi setiap sudut
dusun.
Tung! Tung! Tung!
Suara khas kentongan bambu dipukul dengan ritme cepat tanpa jeda
menjadi kode untuk masyarakat bahwa situasi gawat atau pembunuhan baru saja
terjadi. Seketika suasana mencekam. Bunyi kentongan dalam kegelapan bersahutan
bertalu-talu. Semakin keras, semakin nyaring, dan suaranya semakin mendekat
menembus gelap malam yang dingin tanpa ada penerangan kecuali obor bambu.
Sesaat kemudian, warga dusun tempat tinggalnya semakin ramai seketika. Obor
mulai dinyalakan di depan rumah-rumah, lalu warga mulai berkerumun, saling
bertanya satu sama lain.
"Araq
ape ne? Nenek kaji ... wah toaq aran dunie ne," (Ada apa
ini? Ya Tuhan ... sudah tua dunia ini) ucap Pak Umar—paman Fajar.
Samar-samar, di kejauhan tampak seseorang berlari mendekat dengan
obor bambu di tangannya. Ia tampak terburu-buru menembus pekat malam. Warga pun
berbisik-bisik mengenai siapa dia yang datang mendekat itu. Sepertinya ia dari
dusun sebelah.
"Pak ... tolong, Pak ... bayi-bayi, Pak ...."
Ia tampak panik dan napas
tersengal. Dengan terbata-bata, ia berusaha menyampaikan kejadian di dusun
sebelah. Sekujur badan pria paruh baya itu basah oleh peluh. Bajunya yang tak
terkancing membuat bagian depan tubuhnya terlihat mengkilap terkena pantulan
cahaya api dari obor yang dibawanya.
"Pak Artadi ... ada apa ... kejadian lagi?" tanya Pak
Umar.
Sesaat, mata Pak Artadi menyapu sekitar, ia gelisah, khawatir ada
yang mengikuti.
"Bayi-bayi ... M ... MATI!" jawabnya dengan raut wajah
panik.
Pak Artadi kembali berlari menuju kerumunan lainnya mengabarkan
apa yang terjadi di dusun sebelah yang hanya berbatas sungai dengan dusun
tempat Fajar tinggal.
Setiap tanggal empat belas bulan atas, selalu saja ada berita
bayi-bayi mati tak wajar. Sudah empat purnama ini terjadi. Bayi-bayi itu mati
dengan dubur mengeluarkan darah segar. Menurut kabar yang beredar, bayi-bayi
itu mati karena usus, jantung, dan hatinya hilang dari dalam tubuh mereka.
Rongga perut dan dadanya kosong. Semua tampak jelas dari perut yang mengempis.
Hampir bisa dipastikan, ini ada hubungannya dengan praktek ilmu hitam. Sudah
sebelas bayi yang jadi korbannya, semua sama ... duburnya mengeluarkan darah
segar dan perutnya mengempis.
Aneh, tapi siapa yang melakukan ini dan bagaimana ia melakukannya?
Suasana semakin mencekam, udara dingin semakin erat memeluk tubuh warga dusun
dan bersamaan dengan itu, rongga hidung mereka mencium bau yang sangat busuk.
Khawatir terjadi sesuatu dengan keluarga masing-masing, warga dusun kembali
masuk ke dalam rumah-rumah dan mengunci rapat-rapat pintunya.
Fajar pun segera masuk ke dalam rumah menemani Syahida. Segera ia
palang kayu balok berukuran satu setengah meter di belakang pintu untuk
mengunci. Dari lubang kecil pada dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu,
ia bisa melihat warga dusun sebelah berlarian menembus gelap. Mereka mengungsi,
begitu pikirnya. Jerit dan tangis anak-anak yang diungsikan tengah malam yang
dingin dan berkabut begitu pilu terdengar.
Mereka pasti sangat syok. Sungguh, kejadian memilukan ini pasti
membuat hati setiap orang tua teriris.
Entah kenapa, hanya dusun sebelah itu yang menjadi sasaran, tapi
tetap saja mereka khawatir karena bukan tidak mungkin penjahatnya menyasar
dusun yang lain. Bisa jadi, mereka hanya menunggu giliran.
Malam itu, tidak ada di antara mereka yang memilih untuk tidur
lagi. Di dalam rumah-rumah mereka berjaga untuk anak dan istrinya. Nyala obor
di depan rumah-rumah dibiarkan tetap menyala.
"Gimana bayi kita, Kak?" Syahida menangis sambil memeluk
Asgaf—anaknya.
"Kamu jangan takut, saya pasti akan jaga kalian, bahkan
dengan nyawa sekalipun." Fajar memeluk Syahida erat agar ia merasa aman.
***
Saat pagi tiba dan Fajar hendak berangkat berjualan ke pasar yang
hanya berjarak tiga puluh meter, Fajar melihat warga di sepanjang jalan menuju
pasar membentuk kerumunan-kerumunan kecil membincangkan tragedi semalam.
Bahkan, saat di pasar pun, berita kematian bayi-bayi itu seakan menjadi topik
wajib.
"Pagi, Dayu ...," sapa Fajar kepada pemilik warung kecil
itu.
Dayu hanya tersenyum manis mendengar Fajar menyapa ketika lewat di
depan warung kecil miliknya. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya, hanya senyum
dan tatapan mata yang menawan.
Dayu Siam, perempuan cantik nan ayu, ia datang setahun lalu,
asalnya dari pulau seberang yang sangat menjunjung tinggi adat. Ia begitu
memesona dengan tatapan mata tajam yang khas. Senyum manisnya selalu saja mampu
membuat otak Fajar terus membayangkannya, tapi sayang ia punya banyak
saingan. Dayu Siam hidup seorang diri di
sebuah gubuk tak jauh dari pasar tempatnya berjualan pisang goreng dan kopi.
Tak pernah ada yang tahu siapa keluarganya, bahkan warga sekitar pun tak tahu,
tapi seorang laki-laki penjual tembakau bernama Norman selalu mengawasinya dan
tampak begitu possessive.
Mungkin Norman punya hati pada Dayu, sama seperti laki-laki
lainnya. Norman sering sekali mencari masalah kepada siapa saja yang begitu
dekat dengan Dayu. Tak jarang, Norman terlibat perkelahian di pasar ini. Ia
memang berwatak keras dan suka bikin onar. Mungkin itu sebabnya, jarang ada
yang datang membeli barang dagangannya.
Warung kecil milik Dayu selalu ramai oleh para pengunjung yang
mampir untuk mencicipi pisang goreng dan kopi buatannya, mulai dari kusir
cidomo, juragan beras, hingga Pak Kades sering mampir di warungnya, tapi tentu
saja mereka berusaha menggoda dan mendekati Dayu. Orang-orang itu tak
semata-mata mampir untuk membeli kopi, tapi mereka terpesona oleh kecantikan
dan tatapan teduh sang Dayu serta tutur katanya yang lembut. Pengunjung mampu
duduk berjam-jam bahkan hingga tengah hari dan pergi saat Dayu hendak menutup
warungnya.
Di sebelah Dayu berjualan, ada seorang gadis berjualan gulai dan
sate, namanya Sukreni. Ia tak kalah cantik dengan Dayu, tapi warungnya selalu
sepi. Padahal, gulai dan sate milik Sukreni cukup enak kata mereka yang pernah
mampir. Sukreni hidup bersama neneknya yang sudah renta, mereka tinggal tak
jauh juga dari pasar. Orang tua Sukreni meninggal saat terjadi bencana gempa
dan tsunami beberapa tahun lalu yang menerjang Teluk Awang, Lombok Timur.
Sebulan setelah kedua orang tuanya meninggal, Sukreni pernah
dilamar oleh Ang Kok Liong juragan emas warga keturunan, tapi Sukreni menolak
karena usia yang terpaut hampir empat puluh tahun. Namun, Ang Kok Liong masih
menyimpan harap, bahkan ia selalu mengawasi Sukreni dengan preman-preman
bayarannya.
Saat baru saja Fajar menggelar tikar untuk berjualan, suasana pasar
yang ramai tiba-tiba gaduh. Seorang pria paruh baya berteriak di tengah
ramainya pasar, ia menangisi buah hatinya yang baru lahir seminggu lalu setelah
sebelas tahun lamanya menanti. Ia adalah sahabat Fajar sejak di Sekolah Rakyat
dulu, Nyoman.
Nyoman mengamuk, ia merusak benda-benda di dekatnya karena
depresi. Ia mengayun-ayunkan sebilah keris lalu menantang duel siapa pun yang
telah merenggut nyawa anaknya.
Nyoman tampak benar-benar terpukul, tapi tak ada seorang pun yang
berani mendekatinya.
"Keluar kamu!" teriak Nyoman, "keluar kamu,
siapapun yang membunuh anak saya!" lanjutnya dengan nada keras dan serak.
Hati Nyoman terbakar dendam. Napasnya terengah seperti embusan
napas hewan buas yang sangat marah. Tampak mata memerah menggoreskan kemarahan.
Tak jauh dari pasar, Pak Nengah Benny juga kehilangan bayi
perempuannya. Ia terduduk lemas dan tak percaya atas apa yang terjadi, bahkan
berkali-kali ia jatuh tak sadarkan diri. Mereka adalah dua orang ayah yang
benar-benar kehilangan.
Di sisi lain, anak-anak ketakutan, bahkan ada yang di larang
keluar rumah oleh orang tua mereka karena mendengar cerita kematian bayi-bayi
dengan cara yang tak wajar. Hari demi hari sejak ditemukannya bayi pertama yang
mati dengan kondisi sangat mengerikan, membuat aura desa ini terasa sangat
lain, hawanya kini berubah seakan menjadi desa terkutuk. Mencekam!
Tak ada yang berani berjalan sendirian jika sandikala tiba.
Siapa pelakunya?
Belum ada yang tahu.
0 Komentar